Literasi: Kedai Kopi

   Malam itu hujan sangat deras, petir bergemuruh seakan langit akan runtuh, kilat menambah kesan mencekam. Dengan erat aku memegang gagang payung, aku berjalan tergesa-gesa hingga beberapa kali aku tersandung kerikil, aku tak peduli yang aku pikirkan hanyalah sampai ke rumah lalu bergelung ke dalam selimut, sungguh malam ini sangat dingin.
   Sesekali aku berhenti untuk menanti angkutan umum, namun sayang tak ada satupun yang lewat. Yang benar saja aku harus berjalan kaki ditengah sepinya jalan? bagaimana jika tiba-tiba ada hantu atau makhluk astral yang menampakkan dirinya? huh mungkin aku akan pingsan mendadak. Aku menajamkan penglihatan mataku, apakah aku salah liat? bukan, bukan hantu, aku melihat kedai kopi di seberang jalan, dengan lampunya yang masih menyala terang, aroma kopinya seperti menghipnotisku untuk datang, oh Tuhan terima kasih atas pertolonganmu setidaknya aku bisa menghangatkan diriku sambil menunggu hujan reda di kedai kopi itu.
   Kini aku berdiri tepat di depan pintu kedai yang terbuka lebar, lantainya putih bersih, meja dan kursi kayu yang klasik tertata rapih, tembok nya bercat putih, sangat polos bahkan terkesan tak menarik. Aku melangkah masuk, tak ada satupun pengunjung hanya aku, tentu saja sekarang jam menunjukkan pukul 10 malam. Aku terus berjalan ke meja kayu panjang aku menemukan daftar menu diatasnya, sepertinya kopi hitam menarik, tapi tunggu, kepada siapa aku harus memesan?
   "Silahkan nona mau pesan apa"
   Aku terlonjak kaget disampingku telah berdiri perempuan cantik berambut pirang, hidung mancung dan berkulit putih kemerah-merahan, ya sudah kupastikan dia orang asing.
   "Ah ya! aku pesan satu kopi hitam"
   Aku berusaha menormalkan detak jantungku akibat terkejut. Aku mencoba menatap matanya, astaga! bola matanya biru terang, sungguh indah, namun aku langsung melihat ke arah lain, entahlah aku merasa takut melihatnya lama-lama.
   "Baiklah silahkan duduk, akan ku antarkan jika sudah siap" dia membungkuk sopan dihadapanku membuat aku kikuk harus melakukan apa. Kemudian ia berjalan melewatiku, bau melati langsung menyerbu indra penciumanku, aku bisa merasakan bulu kudukku berdiri sempurna, aku langsung memikirkan hal-hal mistis, namun dengan cepat aku duduk di kursi pengunjung sambil memanjatkan doa semoga beberapa jam kedepan aku masih bisa menghirup napas, yaa aku hanya khawatir sesuatu buruk terjadi, kita tak pernah tau kan?
   "Ini kopinya, silahkan menikmati"
   Perempuan itu membawa nampan berisikan kopi hitam yang aku pesan, asap mengebul dari gelas itu.
   "Terima kasih"
   Aku tersenyum ramah, begitupun dengannya, aku langsung meneguk kopi itu berharap ia segera pergi dari hadapanku. Sungguh diluar harapan, ia malah menarik kursi di depanku lalu duduk. Ya Tuhan ujian apalagi ini batinku dalam hati.
   "Hei kita belum berkenalan, namaku sarah, nama kamu?"
   Seketika aku tersedak dan sedikit terbatuk, apa aku bermimpi sekarang? ku lihat ia mengulurkan tangannya ke diriku, apakah aku benar-benar harus bersalaman dengannya? oh ayolah aku sedang merinding ketakutan sekarang, apalagi bau melati yang sangat kuat dari perempuan ini, siapapun tolong bawa aku lari dari keadaan ini.
   "Namaku Fiera, salam kenal"
   Dengan keberanian yang di bawah rata-rata aku menyalaminya, aku curiga ia mencuci tangannya dengan air es, telapak tangannya sangat dingin. Dengan cepat aku menarik tanganku, pikiran mistis dikepalaku semakin menjadi-jadi. Perasaanku juga mulai tak enak.
   Sudah 30 menit kami berbincang, ternyata ia tak semistis, ekhem maksudku tak seburuk yang ada di pikiranku, ia sedikit bercerita tentang keluarganya dan dari mana ia berasal. Ia keturunan asli Belanda, hmm sudah kuduga, keluarganya pindah ke Indonesia 10 tahun lalu untuk membuat usaha kedai kopi, Sarah, menjadi salah satu penerus kedai kopi ini.
   "Ah yaampun!"
   Aku berseru kaget melihat hp ku jatuh ke bawah meja. Bagus sepertinya malam ini aku akan terkena serangan jantung. Dengan sigap aku menunduk kebawah bermasud mengambil hp ku yang malang. Sebentar, aku rasa silinder di mataku bertambah, apa ini lelucon? badan sarah hanya sampai sebatas meja! astaga aku sudah tau hal seram akan terjadi. Bagaimana ini? aku ingin secepatnya pergi! suasana sangat mencekam, alarm di kepalaku seakan berbunyi keras tanda bahaya.
   "Hmm Sarah aku ingin pulang sepertinya hujan diluar sudah reda, terima kasih kopinya, ini aku bayar"
   Aku memberikannya selembar uang sepuluh ribu dengan cepat aku segera berdiri berjalan cepat ke pintu kedai.
   "Tunggu! hujan belum reda duduk lah disini sebentar lagi temani aku!"
   Aku yang sudah selangkah lagi keluar terhenti sesaat, dia benar hujan masih turun deras, aku tak peduli! aku harus cepat-cepat pergi! aku tak menghiraukan omongannya dan segera bergegas lari sekuat mungkin menjauhi kedai itu.
   "JANGAN PERGI!TOLONG!"
   Teriakannya seakan seseorang yang sedang disiksa di dalam api neraka aku tak berani menoleh ke belakang, sekali aku menoleh habis sudah perjalanan hidupku.
   Pagi hari yang cerah, namun tak secerah hati ku, masih terbayang kejadian semalam, bahkan aku masih merinding, sangat meyedihkan nasibku. Sekarang aku dan temanku telah siap berangkat ke kantor, kami segera memberhentikan angkutan umum dan naik. Ah tidak jalan ini, jalan dimana kedai itu berada, Tuhan ujian darimu begitu berat. Aku menoleh ke arah jendela dengan rasa waspada, mencari-cari dimana kedai kopi semalam. Hei! kedai nya tidak ada atau mungkin sudah terlewat pikirku. Namun aku tetap penasaran.
   "Lin kau tau tidak kedai kopi yang ada di jalan ini?"
   Tanyaku pada Lina teman kerjaku.
   "Hah? kedai kopi? kau ini habis terbentur apa? sejak kapan ada kedai kopi di tempat pemakaman Belanda? Ku kira kau 3 hari tinggal disini sudah tau jalan ternyata tidak"
   Ucap Lina sambil menggelengkan kepalanya heran mendengar pertanyaanku. Pemakaman? oke aku rasa telingaku mengalami gangguan, mungkin aku salah dengar. Sayangnya pendengaranku memang benar, saat aku melihat hamparan batu nisan yang berdiri tegak di jalan tepat kedai itu berdiri.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Literasi: Filosofi Batik Mega Mendung

Literasi: Dimensi yang Berbeda